Pertanian
berkelanjutan ialah suatu cara bertani yang mengintegrasikan secara
komprehensif aspek lingkungan hingga sosial ekonomi masyarakat pertanian. Suatu
mekanisme bertani yang dapat memenuhi kriteria (1) keuntungan ekonomi; (2)
keuntungan sosial bagi keluarga tani dan masyarakat; dan (3) konservasi
lingkungan secara berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya pertanian berkelanjutan
identik dengan pertanian organik.
Pertanian
berkelanjutan bertujuan untuk memutus ketergantungan petani terhadap input
eksternal dan penguasa pasar yang mendominasi sumber daya agraria. Pertanian
berkelanjutan merupakan tahapan penting dalam menata ulang struktur agraria dan
membangun sistem ekonomi pertanian yang sinergis antara produksi dan distribusi
dalam kerangka pembaruan agraria.
Pelaksanaan
pertanian berkelanjutan bersumber dari tradisi pertanian keluarga yang
menghargai, menjamin dan melindungi keberlanjutan alam untuk mewujudkan kembali
budaya pertanian sebagai kehidupan. Oleh karena itu, SPI mengistilahkannya
sebagai “Pertanian berkelanjutan berbasis keluarga petani”, untuk membedakannya
dengan konsep pertanian organik berhaluan agribisnis. Pertanian berkelanjutan
merupakan tulang punggung bagi terwujudnya kedaulatan pangan.
Pertanian merupakan kebudayaan dan
pertanian adalah kehidupan. Pada zaman dahulu nenek moyang kita melakukan
kegiatan pertanian karena masalah kehidupan tanpa berorientasi pasar atau
kepentingan ekonomi semata. Mereka menghasilkan makanan pokok sayur-sayuran
dari lahan sendiri tanpa bergantung pada asupan luar seperti pupuk kimia,
pestisida, dan bibit unggul produksi tertentu. Nenek moyang kita mampu
mencukupi kebutuhan sosial mereka dari kelebihan hasil usaha dibidang
pertaniannya. Mereka lahir, berkembang, dan mati diatas lahan dan usaha
pertanian mereka.
Mungkin ada pikiran yang mengatakan
kalau kebutuhan sosial nenek moyang kita masih sedikit belum sebanyak kebutuhan
sosial kita saat ini. Apakah untuk mencukupi kebutuhan sosialnya seorang petani
harus menanam tanaman yang berorientasi pasar atau tujuan ekspor saja seperti
kakau, karet, kopi dan lain-lain. Tanaman kakau belum tentu mampu mengatasi
kelaparan seperti kasus di NTT beberapa tahun yang lalu. Tanaman casiavera atau
kulit manis juga tidak mampu mengatasi kelaparan karena harganya yang rendah
saat ini. Kemudian tanaman gambir yang hanya menempatkan petani pada posisi
terendah (kuli) sebagai penerima bagian terkecil dan yang diuntungkan hanya
tengkulak, pedagang besar, dan pengusaha-pengusaha india dan negara lain.
Apakah seorang petani minimal untuk
mencukupi kebutuhan dapurnya harus bergantung kepada penggunaan pupuk kimia,
pestisida, dan bibit produk tertentu yang jika dibandingkan antara modal dan
hasil akan menempatkan petani sebagai penerima bagian terkecil dari totalitas
usaha pertanian mereka.
Sah-sah saja jika petani menanam
kakau, kopi, casiavera, cengkeh dan lain-lain, namun nilai-nilai yang
diwariskan nenek moyang kita sangat layak untuk dipertimbangkan kembali. Setiap
rumah tangga petani semestinya berfikir dan mampu menghasilkan kebutuhan pangan
keluarganya dengan biaya murah dan sehat, misalnya untuk kebutuhan sayur
memiliki dapur hidup yang diusahakan secara organik. Malu dong, ngakunya petani
tapi untuk kebutuhan dapurnya 80% harus membeli. Pertanian berkelanjutan harus
peka terhadap nilai-nilai budaya petani dan berbasiskan rumah tangga petani itu sendiri.
2. Menjaga Kelestarian Lingkungan
Semenjak revolusi hijau dicanangkan
dengan sistem intensifikasi pertanian tak dapat dipungkiri telah mengakibatkan
berbagai kerusakan lingkungan, mulai dari tanah, air, udara bahkan tanaman dan
makhluk hidup sudah tercemari bahan-bahan kimia sintetis. Penggunaan pupuk
kimia dan pestisida berimplikasi terhadap rusaknya struktur tanah, dan
memusnahkan predator alami yang berkorelasi terhadap peningkatan populasi hama
dan gulma yang resisten terhadap pestisida.
Dalam pertanian organik tercermin
hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan alam, bagaimana mengolah
alam ini secara bijak tanpa merusaknya. Kebutuhan untuk bertani bersumber dan
dikembangkan dari kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, seperti penggunaan
pupuk dari dedaunan, kotoran ternak, dan penanaman yang tidak monokultur
merupakan sebuah kearifan untuk melindungi keberlanjutan kesuburan lingkungan.
3. Memadukan Ilmu Pengetahuan
Jika dilihat dari sisi ilmu
pengetahuan, pertanian organik harus mengkombinasikan sistem pertanian dan
kearifan tradisional petani dengan ilmu pengetahuan pertanian yang terus
berkembang.
Sebetulnya
pertanian organik bukanlah hal baru atau tiba-tiba dianggap premium di tengah
hiruk pikuk pertanian konvensional saat ini. Jauh sebelum pertanian
konvensional saat ini dikembangkan petani terdahulu telah melaksanakan sistem
pertanian yang ramah lingkungan dengan ilmu atau sistem pertanian yang sering
disebut dengan cara-cara atau kearifan tradisional petani. Mereka telah
memiliki kebiasaan seperti penggunaan pupuk kandang, kompos, sampai kepada
penggunaan ramuan nabati untuk mengusir hama dan memiliki cara dalam
penyeleksian dan penyimpanan benih (bibit). Contoh-contoh lainnya ilmu atau
kebiasaan petani pada zaman dahulu misalnya penggunaan daun nimba, tembakau dan
abu untuk mengontrol rayap, penggunaan tangan sebagai pengukur kelembaban,
penanaman yang tidak monokultur untuk mensiasati hama dan lain-lain.
Seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dibidang pertanian dewasa ini, misalnya
penemuan bakteri penghancur, alat pengukur kelembaban, pengukur PH, kandungan
pupuk dan bahan-bahan pembuat pupuk organik bisa diteliti dan bermacam-macam
penemuan lainnya di bidang pertanian. Dalam melaksanakan pertanian organik
harus menggali kembali kearifan tradisional petani memadukannya dengan ilmu
pertanian saat ini sepanjang penemuan-penemuan baru di bidang pertanian ini
tidak merusak lingkungan dan tidak menimbulkan ketergantungan baru.
4. Membangun Kemandirian
Revolusi hijau dengan sistem
intensifikasi pertaniannya mempunyai andil dalam memperbesar kelas sosial di
kalangan petani antara petani kaya dan petani miskin (petani kecil dan buruh
tani) dengan merubah pola hubungan petani pemilik dengan buruhnya menjadi
semakin individual.
Petani miskin yang merupakan mayoritas
petani Indonesia menjadi semakin tak berdaya karena ketergantungan terhadap
bahan atau asupan dari luar. Petani yang dulu berdaulat dengan bibit sendiri,
pupuk sendiri, dan keanekaragaman hayati untuk pengedalian hama kini harus
membali pupuk kimia, pestisida dan bibit. Jika dibandingkan antara modal dan
hasil telah menjadikan petani kuli dilahannya sendiri tempat berladang
perusahaan-perusahaan penghasil pupuk, pestisida dan bibit yang mayoritas di
kuasai perusahaan asing.
Pertanian
organik harus mampu membangun kemandirian petani yang diawali dengan
kemandirian rumah tangga petani dalam mencukupi kebutuhan sendiri yang
dilanjutkan dengan kebutuhan pasar.
Dalam berproduksi petani harus mampu
menyediakan sarana produksi sendiri dengan mengelola sumber daya alam dan
lingkungan. Untuk menghilangkan ketergantungan kepada pupuk dan pestisida
petani dapat menggunakan bokhasi, kompos dan mengendalikan hama dengan
memanfaatkan keanekaragaman hayati yang ada. Petani juga harus membuat bank
benih supaya tidak tergantung lagi kepada monopoli perusahaan bibit yang
menerapkan hak kepemilikan intelektual.
5. Sebagai Gerakan Sosial
Dalam konteks gerakan sosial kaum tani
maka pelaku gerakan adalah petani itu sendiri baik pengorganisasian konsumen,
maupun pihak lain diluar pertanian seperti nelayan, buruh bahkan pemuda agar
gerakan pertanian organik menjadi luas lagi. Sebagai gerakan sosial harus terus
menerus menempatkan pertanian organik sebagai gagasan, indentitas, prinsip,
nilai-nilai dan tujuan yang radikal bukan karena kepentingan pasar semata tapi
menjadi konseptual yang berbasiskan rumah tangga petani pengganti konsepsi
pertanian konvensional (revolusi hijau).
Ada
dua strategi utama dalam memperjuangkan konsep pertanian organik ini yaitu
pertempuran di dunia ide dan pertempuran di basis material. Pertempuran di
dunia ide dalam rangka melawan teori-teori, asumsi-asumsi, kampanye dan
rekayasa psikologi individu maupun masyarakat, yang dilakukan oleh kalangan
anti pertanian organik yang ekologis, berbasiskan rumah tangga petani dan untuk
menghilangkan ketergantungan. Pertempuran di basis material bagaimana petani
menguasai langsung sumber daya agraria dan praktek pertanian organik di
lapangan (aksi sebagai bentuk perlawanan) tanpa harus menunggu kebijakan,
teori-teori dan konsep pembangunan pertanian organik yang berpihak kepada
petani di jalankan oleh pemerintah.
Memang
terdapat beberapa kalangan yang mengkhawatirkan bahwa kembali ke sistem
produksi pangan organik akan mengakibatkan produksi nasional menurun. Tetapi
pendapat tersebut sebenarnya tidak memiliki dasar ilmiah dan bukti empiris
lapangan yang kuat. Buktinya ditingkat petani yang menerapkan pertanian padi
organik justru mengalami peningkatan produktifitas bahkan dapat meningkatkan
hasil 20-30%, dibanding sistem produksi ala revolusi hijau.
Pertanian organik juga membuat
perekonomian pedesaan kembali bergairah, karena produksi pupuk organik relatif
padat karya sehingga dapat membuka lapangan kerja baru. Sistem peternakan kecil
yang selama ini tergantikan oleh peternakan skala industri bisa hidup kembali
karena produksi pupuk memerlukan kotoran ternak. Pemerintah tidak lagi perlu
memberikan subsidi pembelian gas alam dan perawatan pabrik pupuk, tapi
menggantikannya menjadi intensif buat petani untuk memproduksi pupuk organik
termasuk membuat pelatihan. Petani dapat memberikan pupuk pada tanaman tepat
waktu, dan arus kas keluar yang biasanya untuk membeli pupuk kimia, pestisida
milik perusahaan asing akhirnya beredar antara sesama petani, peternak dan
pedagang kecil.
yoiiiiiiiiii terima kasih semoga bermanfaat untuk kalian semua